IDENTITAS

**

Student Government

Rabu, 20 Oktober 2010

Materi: Student Government
Pemateri: Nasuha Smith

Bagi mereka yang hanya bisa berpikir secara hitam dan putih, peran subjektif (individu) dan peran objektif di dalam perkembangan sosial adalah dua hal yang kontradiktif. Dalam satu pihak adalah mereka yang menekankan peran subjektif di dalam sejarah, yang nota-bene berkesimpulan bahwa sejarah dibuat dan dibentuk oleh orang-orang yang hebat; bahwa Leninlah (atau dengan Trotsky, dan lain-lain) satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas Revolusi Oktober dan kemerosotannya; bahwa Hitlerlah yang mengakibatkan Perang Dunia kedua; bahwa Bushlah yang menyebabkan perang di Irak; bahwa massa dan kondisi objektif (kondisi ekonomi, relasi sosial, dan lain-lain) tidak memainkan peran sama sekali di dalam sejarah.
Di pihak yang lain adalah mereka yang menyangkal peran individu, mereka yang mengangkat setinggi-tingginya sifat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, atau mereka yang menempatkan kondisi objektif di atas segala-segalanya. Dan sebagai akibatnya, mereka melihat semua peran subjektif sebagai bentuk pengkultusan individu, sebagai sebuah ilusi yang disebarkan oleh elit-elit pemikir. Di antara kedua pihak tersebut adalah mereka yang kebingungan, yang karena kedangkalan mereka berayun dari satu pihak (peran subjektif) ke pihak yang lain (peran objektif). Di balik kebingungan mereka akan perkembangan sejarah, mereka menemukan ‘kompromi’ atau ‘solusi’ terhadap masalah peran objektif dan subjektif di dalam sejarah, dengan mengklaim bahwa ada saatnya peran subjektif itu penting dan pada saat lainnya peran objektif yang menjadi penting.
Ide-ide tersebut di atas adalah ide-ide yang menyesatkan di dalam gerakan sosial. Dari sebuah ide atau pemahaman mengenai perkembangan sosial, lahirlah sebuah strategi dalam pergerakan sosial. Maka dari itu, sebuah ide yang keliru akan menghasilkan strategi yang keliru juga. Penekanan konsepsi peran subjektif melahirkan sebuah strategi bahwa tidak diperlukan sebuah organisasi untuk merubah masyarakat, cukup dengan beberapa orang saja yang hebat; atau sebuah strategi bahwa organisasi yang dibentuk tidak perlu mempunyai hubungan dengan kelas masyarakat yang diwakilinya. Di pihak yang lain, penekanan konsepsi peran objektif melahirkan sebuah strategi bahwa semua gerakan sosial adalah spontanitas, maka dari itu individu-individu aktivis tidak perlu secara sadar melakukan agitasi atau membentuk organisasi; bahwa organisasi massa akan terbentuk sendirinya, bahwa program-program organisasi tersebut adalah hasil reaksi spontanitas. Dan untuk mereka yang kebingungan, mereka hanya akan berayun-ayun tanpa kepastian sampai tiba saatnya dimana mereka terhempas oleh arus sejarah.
Peranan individu dan pengkultusan yang berlebihan akan memotong sirkulasi gerakan social yang sustainable. Benar bahwa terdapat kepemimpinan cultural yang akan mampu mendorong proses perubahan dan melakukan agenda agitasi dan propaganda dalam membentuk kekuatan-kekuatan revolusioner. Namun terdapat kebutuhan mendesak agar agenda besar tersebut dapat ditransformasikan dalam bentuk organisasi yang massif. Student government merupakan upaya dalam menciptakan kondisi objektif bagi perubahan social yang diawali langkah pasti.
Selanjutnya, kita akan meneropong lebih jauh mengenai konsep ‘Student Government’. Pertama perlu diingat, bahwa pemerintahan kita maknai lazimnya sebagai organisasi yang mampu menyelenggarakan hajat hidup basis konstituennya. Sedangkan ‘Pemerintahan Mahasiswa’ sejatinya tidak pernah melakukan fungsi-fungsi demikian. ‘Pemerintahan Mahasiswa’ hanya melakukan fungsi-fungsi perlindungan, pendampingan atau advokasi terhadap kepentingan anggota-anggotanya, yakni mahasiswa. Penyelenggaraan hajat hidup mahasiswa secara keseluruhan lebih diperankan oleh fakultas atau universitas sebagai penyelenggara pendidikan. Jadi, kata ‘pemerintahan’ lebih tepat diarahkan pada dua organisasi besar itu, universitas atau fakultas sebagai sub organisasinya.
Kedua, adalah kontradiktif bilamana adanya ‘Pemerintahan Mahasiswa’ masih bergantung pada otoritas struktural di atasnya, yakni universitas dan/atau fakultas. Ketergantungan ini bukan hanya pada titik legal-formal, melainkan sampai pada ranah infrastruktur organisasi. Kontradiksi di atas tentunya berimplikasi pada pola relasi yang dibangun antara ‘Pemerintahan Mahasiswa’ dengan universitas dan/atau fakultas. Pola relasinya menjadi ambivalen atau ambigu. Satu sisi ‘Pemerintahan Mahasiswa’ mambutuhkan universitas dan/atau fakultas untuk keberadaannya. Pada sisi yang lain, ‘Pemerintahan Mahasiswa’ mendudukan universitas dan/atau fakultas dalam hubungan vis-a-vis. Dalam analogi umum, kita sebut pola relasi demikian sebagai ‘benci benci-cinta’ atau sebaliknya.”
‘Pemerintahan Mahasiswa’ mengacu secara khusus pada Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) atau istilah sejenisnya dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau istilah sejenisnya. Dan pada sisi lain, Lembaga Mahasiswa secara luas mengacu pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau sejenisnya dan Himpunan Mahasiswa Fakultas.
Dalam pembentukannya, ‘Pemerintahan Mahasiswa’ khususnya ‘Pemerintahan Mahasiswa’ IAIIG dilandasi oleh semangat keberpihakan terhadap mahasiswa. Keberpihakan yang dimaksud adalah keberpihakan yang proporsional bukan keberpihakan yang membabi-buta. Secara historis ‘Pemerintahan Mahasiswa’ lahir dari sebuah kondisi keprihatinan terhadap unsur represifitas dan dominasi negara yang semakin kental—meskipun terjadi dengan cara-cara laten dan sublim—terhadap entitas mahasiswa itu sendiri. Dominasi ini menjadi signifikan mengingat bahwa mahasiswa merupakan kelas menengah masyarakat yang berpotensi melakukan perubahan sosial. Tidak salah jika untuk mengapresiasi entitas ini sebutan agent of change, iron stock dan istilah sejenisnya dilekatkan.
Mengkaji ‘Pemerintahan Mahasiswa’, secara historis juga tidak dapat dilupakan sejarah Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang lahir di masa Soeharto dan masih berlaku hingga saat ini. Tragika NKK/BKK secara epistemologis merupakan perseturuan antara klaim kebebas-nilaian ilmu pengetahuan dan kebernilaian ilmu pengetahuan pada sisi yang lain. Ditumpangi jaring kuasa saat itu, NKK/BKK dikeluarkan sebagai bentuk pemenara-gadingan mahasiswa dari realitas kehidupan. Mahasiswa dilarang melakukan tindakan-tindakan politis, dalam konteks awal lahirnya, mahasiswa dilarang melakukan kritisisme terhadap pemerintahan atau negara. Pada sisi yang lain, seruan mahasiswa agar ‘kembali ke kampus’, belajar sebagaimana mestinya seorang siswa terjadi secara massif. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, dibentuklah Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang isinya adalah lembaga-lembaga mahasiswa bentukan negara (dalam praktiknya dilakukan oleh universitas dan/atau fakultas). Lembaga-lembaga tersebut tentu saja lembaga mahasiswa yang telah disekulerkan dari kehidupan nyata. Lembaga itu hanya berada pada wilayah artikulasi bakat-minat mahasiswa, tidak lebih dan tidak kurang. Meskipun, pada kenyataannya, beberapa lembaga mahasiswa tertentu sudah melakukan ideologisasi lembaga menjadi alat perjuangan.
Lahirnya lembaga mahasiswa resmi ini pada akhirnya telah mengebiri hak-hak politik mahasiswa untuk melakukan kritisisme terhadap jalannya pemerintahan. Tidak heran, jika di masa awal, banyak mahasiswa memilih gerakan mahasiswa di luar kampus untuk menyalurkan bakat terpendamnya. Sebutlah HMI, PMII, KAMMI, IMM, PMKRI, GMNI, FMN, Gema Pembebasan dan lain-lain, sebagai wadah artikulasi politik mahasiswa. Sekulerisme menjadi semakin nyata, antara lemabaga intra-kampus dan pada sisi yang lain lembaga ekstra kampus.
Di dalam wadah lembaga ekstra-kampus, mahasiswa dapat berteriak nyaring dalam menyuarakan aspirasinya (mahasiswa atau masyarakat luas). Sedangkan di dalam lembaga intra-kampus, mahasiswa harus tunduk pada aturan di atasnya, atau dipaksa menyesuaikan dengan kondisi yang dimaklumatkan. Mungkin, bilamana frasa ini tepat, mahasiswa yang mengalami dua pengalaman ini sekaligus (aktif di lembaga intra dan ekstra kampus pada saat yang bersamaan) akan mengalami double personality. Dan bisa dikatakan, dari dua kepribadian itu, kepribadian untuk melakukan kritisisme, counter hegemony dan sejenisnya adalah kepribadian yang lebih dominan. Kepribadian ini mengalahkan ketundukan, kepatuhan, ketaatan pada otoritas negara yang mengejawantah melalui universitas dan/atau fakultas.
Double personality, memiliki implikasi ambivalensi dalam pola relasi semacam apa yang harus dibangun ketika berhadapan dengan universitas dan/atau fakultas. Di luar kampus, hal ini menjadi lebih mudah, tanpa dibayang-bayangi oleh banyak aturan segala kehendak dapat diartikulasikan. Sebagai warga negara yang kebebasannya dijamin oleh UU untuk berkumpul dan berserikat dan seterusnya. Sedangkan di dalam kampus, ada otoritas di atasnya yang membangun penjara panopticon yang selalu menghantui mahasiswa kapan dan di mana pun ia berada.
Demkian  sedikit paparan tentang konsep Pemerintahan Mahasiswa. Semoga kedepan akan terumuskan konsep Pemerintahan Mahasiswa yang dapat mendorong proses pemberdayaan mahasiswa secara massif dan dapat membaca dengan jelas relasi mahasiswa, institute dan Negara pada aras yang lebih luas. Karena terdapat kemungkinan bahwa justeru realitas yang terdapat di kampus kita adalah represifitas kebijakan Negara yang tidak berpihak terhadap institute. Hal ini memerlukan kajian dan pembacaan serius.


SHOLAWATAN JAWA ( PUJI – PUJIAN )




SHOLAWATAN JAWA
( PUJI – PUJIAN )


 










MAKALAH INI DIBUAT GUNA MEMENUHI  TUGAS YANG TERSTUKTUR DARI DOSEN PENGEMPU MATA KULIAH SEJARAH KEBUDAYAAN LOKAL (SKL)

Nama: Abdul Wachid B.s

Di disusun oleh
Nama: Nur Laeli Maulidah
Nim: 072331123
Semester/Fak/PAI: Dua / Tarbiyah / Tiga



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PURWOKWERTO




  1. PENDAHULUAN
Keadaan masyarakat sekarang ini yang semakin lama semakin akut karna terjangkit oleh penyakit – penyakit perdaban moderen terutama materialisme dan hegemonisme, sehingga kadang suatu kebudayaanya sendiri pun terabaikan bahkan tidak tau sama sekali, padahal kebudayaan khususnya kesenian daerah atau yang sering disebut seni tradisional itu perlu untuk di pelajari dan dijaga kelstarianya  agar kebudayaan itu tidak hilang begitu saja, serta kita tahu makna yang terkandung dari sebuah tradisi  
Konteks tradisi dalam hal ini merupakan suatu hal yang sangat sakral dan seharusnya tidak untuk dilupakan begitu saja karna ada sejuta makna yang tersirat di setiap bait yang ada dalam dimensinya.
Sedikit bangkit tanpa adanya iterperensi lain mencoba utuk mengkaji kembali tradisi yang semakin sepi dari bisingnya telinga, taklagi terlintas seutas kata yang dibalut dengan irama syair  indah yang keluar dari lidah – lidah jawa. Yang mungkin  pada zaman dahulu syair sholawatan jawa atau puji - pujian itu sering kali di kumandangkan  utuk mengingatkan atau mungkin menyinggung orang – orang yang keluar dari koridor agama.


B. TEORI DAN METODE
Hal yang terpenting pada sebuah penafsiran solawatan jawa ialalah sutu bahasa syair yang diindahakan dalam konteks penyampainya agar tidak terlihat monoton dan membosankan, maka sebuah syair mempunyai perhitungan tersendiri yang dilakukan oleh penyairnya, bentuk pemakaian bahasa dalam perspektif tertentu yang menjadi perhatian penyair. oleh sebab itu walaupun bahasa yang dipakai oleh sebuah syi’iran itu memakai bahasa yang digunakan sehari – hari, namun tetap ada sesuatu yang membedakanya atau nilai kepuitisanya tersendiri.
Oleh sebab itu syair atau sholawatan jawa merupakan suatu tindak penyampaian bahasa yang lugas mudah dipahami serata mempunyai makna yang sangat mendalam, syair jawa mempunyai posisi yang tersetruktur dalam penyampaian bahasanya agar mudah untuk dipahami dan di pelajari, dengan begitu bahasa ungkapan sebelum di jadikan bahasa syi’iranpun sudah dipersepsikan sekaligus diposisikan sebagai sistem yang tersusun dan mempunyai symbol – symbol tersendiri (Abdul Wachi B.S 2007)
Sementara itu symbol merupakan salah satu jenis yang bersifat arbitrer dan konvensional, dengan begitu symbol yang ada pada sholawatan jawa itu ekuivalen dari pengertian Fedinand De Saussure  tentang tanda. Didalam bahasa syair, sebagai sistem peningkatan makna terhadap bahasa agar sebuah syair itu bersifat figurative. Kata atau kata – kata pada konteks bahasa syair di persepsi dan diposisikan sebagai lambang atau symbol. Maka pemaknaan syair berarti menafsirkan atau memberikan interpretasi terhadap lambang tau symbol itu.
Demikian juga penafsiran makna dari konsep syair atau sholawatan jawa ini dilakukan dengan memposisikan bahasa yang “Diindahkan“ baik dari aspek etetik maupun etiknya, sebagai sistem komunikasi yang transparan dan mempunyai symbol yang melibatkan tanda. Dalam sistem komunikasi sastra, hal demikian melibatkan penyair yang sebagai pencipta teks – teks dan penyampaianya atau gaya bahasanya.
Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam memahami suatu teks itu kadang banyak sekali penafsiran yang berbeda – beda, bahkan perselisihan dalam penafsiran itu, karna banyak hal yang menjadi faktor dalam mendasarinya. Pertama kesalah pahaman dalam penafsiran tu disebabkan oleh kenyataan bahasa yang memiliki medium puisi dan memiliki arti oleh pemakaian bahasa didalam suatu masyarakat. Kedua kesalah pahaman tafsir itu disebabkan oleh kenyataan pemakaian bahasa yang secara tidak langsung. Ketak langsungan itu merupakan ekspresi penggunaan metafora yang menjadi bagian vital dari sistem sastra  yang digunakan sebagai bahasa ungkapan pada sebuah syair jawa(Abdul Wachi B.S 2007).


C. ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN
1.      Analisis
Seiring kemajuan zaman kadang kita melupakan tradisi lama dan lebih mengedepankan tradisi kekinia yang penuh dengan tehnologi yang mutahir, dan tradisi lama yang seharusnya kita pelihara agar tidak musnah dari peradaban, justeru sering terlupakan. solawatan jawa atau sering disebut puji – pujian yang mengandung unsur religi yang sangat kental misalnya, kini hampir tak lagi terngiyang ditelinga, padahal pada zaman dahulu khususnya masyarakat jawa puji – pujian hampir setiap sebelum azan  dikumandangkan, selalu dilantunkan untuk menarik para masyarakat guna sholat berjama’ah. Pada  lingkungan Pesantren khususnya di daerah jawa, solawatan jawa merupan suatu teradisi yang sangat dijaga, walau tidak menutup kemungkinan ada juga yang sedikit melupakanya, tapi belum begitu termarjinalkan.
Unsur religi yang terkandung pada solawatan jawa sangatlah kental, karna disetiap bait – bait syair itu mengandung ajakan, nasehat dan meyakinkan tentang ajaran – ajaran islam yang sesungguyan, bentuk kalimat yang dipakai pada penyampainyapun sangatlah lugas dan mudah dipahami, karna kata – kata yang digunakan merupakan bahasa sehari – hari yang dibalut dengan syair – syair yang sangat indah (M. Nasuha 29 mei 2008).
2.      Pembahasan
Sholawat badar
*sholatullah sallamullah ngala toha rrasulillah
Shalatullah sallanullah ngala yasin habibillah*

Sandangane diganti putih
Iku tandane rabiso mulih
Rabiso mulih……
Tumpaanne kereto dowo
Roda papat rupo menungso

Jujugane umah guo
Tanpa bantal tanpa kolso
Tanpa kloso….
Ditutupi dianjang – anjang
Diurugi disawur kembang

Yen umaeh ora ono lawange
Turu dewe ora ono kancane
Ora ono kancane…
Tonggo – tongo podo nyawang
Podo nangis koyo wong nembang.
Pakaianya diganti putih
Itu tandanya tidak bisa pulang
Tidak bisa pulang…..
Naikannya kereta panjang
Roda empat wajah nanusia

Anteranya rumah gua
Tanpa bantal tanpa tikar
Tanpa tikar….
Ditutupi di susun – susun
Di timbun di sirah kembang

Yang rumahnya tidak ada pintunya
Tidur sendiri tidak ada temanya
Tidak ada temanya….
Tetangga – tetangga pada melihat
Pada menangis seperti orang nyanyi.
Setiap kata pada sholawatan tersebut mempunyai makna atau penafsiran tersendiri yang terkandung didalamnya, sandangane diganti putih ikutandane raiso mulih ,penyair mengingatkan kita bahwa setiap manusia apa bila pakainya sudah diganti kain putih berupa kafan itu sudah tidak bisa pulang kedunia lagi dan musnahlah semua gelamor duniawi, tumpak ane kereto dowo roda papat rupo menungso, dan kendaraan yang dinaiki itu berupa keranda mayat yang di pikul oleh empat orang, itulah yang namanya kendaraan terahir bagi kehidupan manusia.
 jujugane omah guo tanpa bantal tanpa keloso, kita diantarkan kerumah yang gelap gulita yaitu liang lahat, tanpa membawa harta benda apapun, semua itu ditinggalkan kecuali kain kafan yang menempel ditubuh dan amal shaleh, ditutupi dianjang – anjang diurugi disawur kembang, setelah itu jasad kita ditutupi dengan bambu atau semacamnya yang disusun lalu kita ditimbun sedangkan sanak famili atau sahabat hanya menaburkan bunga diatas tumpukan tanah kubur kita.
 yen umaeh raono lawange turu dewe raono kancane, dan didalam kubur itu sangatlah gelap gulita, kita terbaring sendiri tak ada satupun yang menemani kecuali belatung dan cacing tanah yang siap untuk menggrogoti jasad kita, tonggo – tonggo podo yawing podo nangis koyo wong nembang, sedangkan sanak famili kerabat dan para tetangga tidak ada yang bisa mengubah takdir kematian itu keculi hanya memandangi dan menangisi kepergian kita, kehadapan Illahirrobbi yaitu Allah Swt.
Pada dasarnya setiap manusia itu akan mengalami kematian, seharusnya manusia itu tak harus berbangga diri atau takabur dengan apa yang dimiliki sekarang, karna semua itu hanya kesenangan duniawi belaka, dan tidak ada sejengkalpun dari harta benda kita yang dibawa mati kecuali amal shaleh kita, setelah mati jasad ini hanyalah makanan cacimg dan belatung semata jadi keanggunan paras itu tak ada artinya untuk dibanggakan.
Jadi hendaknya kita selalu ingat terhadap kematian agar kita tidak semena –mena dalam menapaki kehidupan ini, itulah ajakan yang disampaikan oleh penyair sholawatan jawa ini.



D. KESIMPULAN

Sholawatan jawa merupakan tradisi lama yang sangat besar maknanya, karna dari sekelumit syair yang keluar merupakan sebuah ajakan kepada kita semua untuk selalu mengingat Tuhan yang Maha Esa, dan senantiasa patuh padanya. Pada zaman dahulu sholawatan jawa merupakan puji – pujian untuk menanti dikumandangkannya azan, jadi tradisi ini dilakukan untuk menarik para masyarakat untuk segera menyelesaikan seluruh aktifitasnya dan langsung berkumpul dimasjid guna melaksanakan sholat berjamaah bersama.
Unsur dari sholawatan jawa merupakan syair – syair Religi agama islam, yang sering disebut oleh masyarakat Jawa dengan nama puji – pujian, setiap bait dari syairnya sangatlah dalam maknanya, kalau kita benar – benar menghayatinya, bahasa syairnya yang sangat sederhana dan memakai bahasa sehari – hari sehingga sholawatan jawa sangat mudah untuk dipahami dan dimengerti makna serta tujuanya.
Seiring berjalanya waktu sholawatan jawa sedikit terkikis, karna genderasi pada masa kini seakan tak pernah menghiraukan tradisi lama, justru lebih mengedepankan trdisi kekinian yang penuh dengan gelamor moderenisasi, tapi pada wilayah pesantren dan msyarakat yang masih ortodok dengan kemajuan zaman sholawatan jawa mungkin masih hidup walau tidak sehidup pada masa dahulu.













DAFTAR PUSTAKA

Wachid B.S, Abdul. 2007.Gandung Cinta, Tafsir Terhadap Puisi A. Mustofa Bisri : Pustaka Pelajar

Nasuha M. 29 Mei 2008. Intervieu Lewat Telfon

www.wikipedia.com Tentang Budaya Dan Tradisi jawa.


Sejarah Seni dan Budaya Banyumas

BAB 1
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Negara Indonesia merupakan suatu Negara kesatuan, yang mempunyai beberapa pulau serta beranekaragam kebudayaan yang seharusnya semua warga Negara Indonesia ini mengerti akan kebudayaan yang ada, agar terciptanya suatu Negara yang rukun dan damai, karna kebudayaan merupakan mediasi yang sangat efektif untuk mempersatukan bangsa dalam ranah kebersamaa.
Sebagai warga Negara yang baik dan cinta akan tanah air, seharusnya kita dapat menjaga serta melestarikan kebudayaan yang telah ada, agar kebudayaan kita tidak dirampas oleh Negara lain, seperti kasus yang sudah – sudah, Tari Reok Ponorogo yang di klaem oleh Negara tetangga kita yaitu Malaisia, dan saya rasa masih banyak lagi kebudayaan kita yang secara tidak sadar telah di klaem aleh Negara lai, oleh karna itu marilah kita bersana – sama untuk menjaga kelestarian kebudayaan Negara Indonesia tercinta ini.
  1. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan dari makalah ini yang hendak dicapai adalah:
1.      Mengerti betapa pentingnya suatu kebudayaan itu sendiri
2.      Mengetahui lebih jelas tentang kebudayaan yang ada di Negara kita.
  1. KEGUNAAN PEMBAHASAN
Yang terpenting dalam makalah ini adalah mampu memberikan kerangka teoritis maupun praktis dari nilai-nilai setiap kebudayaan yang ada di Negara kita, walau kita tidak tau bagai mana bentuk dari daerah itu.
  1. PENEGASAN JUDUL
Untuk menghindari kesalam pahaman dalam memahami judul dari makalah ini, maka penulis merasa berkepentingan untuk menegaskan judul dari makalah ini adapun judul dari makalah ini adalah “Sejarah, Seni dan Budaya Banyumas “



BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A. SEJARAH BERDIRINYA KABUPATEN BANYUMAS
Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum'at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990.Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT).
Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya. Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri  (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap.
Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II.
Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1.      Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2.      Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3.      Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4.      Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat. M.R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu.
1.      Sejarah Kesultanan Demak
Periode: Akhir Kesultanan Demak hingga Awal Mataram. Pada jaman Kesultanan Demak (1478 - 1546), wilayah Banyumasan terdiri dari beberapa Kadipaten, diantaranya Kadipaten Pasirluhur dengan Adipatinya Banyak Belanak, juga Kadipaten Wirasaba dengan Adipatinya Wargo Utomo I. Luasnya kekuasaan Kesultanan Demak membuat Sultan Trenggono (Sultan Demak ke III) merasa perlu memiliki angkatan perang yang kuat, untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak pun dibagi-bagi secara militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk wilayah Barat, Sultan Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah meliputi Kerawang sampai gunung Sumbing (Wonosobo). Sebagai salah seorang Panglima Perang Kesultanan Demak, Adipati Pasirluhur dianugrahi gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I sedangkan adiknya yang bernama Wirakencana diangkat menjadi Patih.
Setelah Sultan Trenggono wafat, Kesultanan Demak terpecah menjadi 3 bagian, salah satunya adalah Pajang yang diperintah oleh Joko Tingkir dan bergelar Sultan Adiwijaya (1546-1587). Pada masa ini, sebagian besar wilayah Banyumasan termasuk dalam kekuasaan Pajang. Mengikuti kebijakan pendahulunya, Sultan Adiwijaya juga mengangkat Adipati Pasirluhur yang saat itu dijabat Wirakencana, menjadi Senopati Pajang dengan gelar Pangeran Mangkubumi II. Sementara itu Adipati Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat dan salah seorang putranya bernama R. Joko Kaiman diangkat oleh Sultan Adiwijaya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II, beliau menjadi Adipati Wirasaba ke VII. Menjelang berakhirnya kejayaan kerajaan Pajang dan mulai berdirinya kerajaan Mataram (1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kekuasaan Kadipaten Wirasaba ke saudara-saudaranya, sementara beliau sendiri memilih membentuk Kadipaten baru dengan nama Kadipaten Banyumas dan beliau menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat.
Selanjutnya, Kadipaten Banyumas inilah yang berkembang pesat, telebih setelah pusat Kadipatennya dipindahkan ke Sudagaran - Banyumas, pengaruh kekuasaannya menyebabkan Kadipaten-Kadipaten lainnya semakin mengecil. Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Mataram, Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan pun tunduk pada kekuasaan Mataram.Kekuasaan Mataram atas Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tidak secara otomatis memasukkan wilayah Banyumasan ke dalam ‘lingkar dalam’ kekuasaan Mataram sehingga Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tersebut masih memiliki otonomi dan penduduk Mataram pun menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah Mancanegara Kulon.

2.       Awal Pembentukan Karesidenan dan Kabupaten-Kabupaten
Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen (Purworejo) sampai Majenang (Cilacap). Disebut Mancanegara Kulon karena pusat pemerintahan waktu itu memang berada di wilayah Surakarta atau wilayah wetan. Terhitung sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda, itulah awal
penjajahan Belanda, sekaligus akhir dari pendudukan kerajaan Mataram atas bumi Banyumasan. Selanjutnya para Adipati di wilayah Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja Mataram, mereka selanjutnya dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dipilih dari kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir.

B. KULTUR UMUM MASYARAKAT BANYUMAS
Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah, walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa. Hal ini sangat terkait dengan karakter masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal istilah ningrat atau priyayi. Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu bahasa Banyumasan yang pada dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial. Penggunaan bahasa halus (kromo) pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan masyarakat Jawa lainnya (wetanan) dan ini merupakan kemampuan masyarakat Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan kepada orang yang lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang serta sopan santun dalam bertingkah laku. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh feodalisme memang terasa tetapi itu bukan merupakan karakter asli masyarakat Banyumasan. Selain egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki kepribadian yang jujur serta berterus terang atau biasa disebut Cablaka / Blakasuta.
a)      Kesenian
Kesenian khas Banyumasan tersebar di hampir seluruh pelosok daerah. Kesenian itu sendiri umumnya terdiri atas seni pertunjukan rakyat yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berkaitang dengan kehidupan masyarakat pemilik-nya. Adapun bentuk-bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain: Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, yaitu jenis seni pertunjukan wayang kulit yang bernafaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua gragak atau gaya, yaitu Gragak Kidul Gunung dan Gragak Lor Gunung. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah nafas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya. BEGALAN, adalah seni tutur tradisional yang digunakan sebagai yang digunakan sebagai sarana upacara pernikahan, propertinya berupa alat-alat dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi falsafah jawa & berguna bagi kedua mempelai dalam mengarungi hidup berumah tangga.

b)     Musik
Musik-musik tradisional Banyumasan memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan musik Jawa lainnya. Calung. Alat musik ini terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong & kendang. Selain itu ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang Kenthongan - sebagian menyebut Tek-Tek. Kentongan juga terbuat dari bambu. Kenthong adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan Beduk, seruling, kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan lagu Jawa dan Dangdut. Salawatan Jawa yaitu salah satu seni musik bernafaskan Islam dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.

c)      Tarian
Lengger,yaitu jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. Kesenian ini umunya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut badhud (badut/ bodor), Lengger disajikan diatas panggung pada malam hari atau siang hari , dan diiringi oleh perangkat musik calung. SINTREN, adalah seni tradisional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian Ebeg. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan trance/mendem, kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung.Dan dimasukan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama - sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
AKSIMUDA, adalah kesenian bernafas Islam yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian. ANGGUK, yaitu kesenian bernafaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir pertunjukkan para pemain Trance (tidak sadar) APLANG atau DAENG, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri. BONGKEL, Musik Traditional yang mirip dengan Angklung, hanya terdiri atas satu buah Instrument dengan empat bilah berlaras slendro, dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan gendhing - gendhing khusus bongkel. BUNCIS, yaitu perpaduan antara seni musik & seni tari yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem. EBEG, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cepet. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan jathilan, kuda kepang dan kuda lumping di daerah lain.

d)     Makanan
Wilayah Banyumasan mempunyai makanan khas yaitu Mendoan Tempe. Beberapa makanan khas Banyumasan lainnya adalah keripik tempe, soto Sokaraja dan getuk goreng Sokaraja. sedangkan untuk minuman ada Dawet Ayu Banjarnegara

e)      Wisata
Wilayah Banyumasan memiliki beberapa tempat wisata andalan, kebanyakan berupa keindahan alam seperti gua, air terjun dan wana wisata. Brebes: Waduk Malahayu dan Waduk Penjalin, pantai Randusanga, pemandian air panas Cipanas Bantarkawung dan Wanatirta, Kedungoleng, cagar alam Telaga Renjeng. Tegal : Guci Indah, pantai Purwahamba, waduk Cacaban, pemandian Kalibakung, goa Lawet, wisata sejarah Makam Amangkurat I dan wisata industri LIK Takaru. Pemalang : Pantai Widuri/Cilincing, pemandian Moga. Banjarnegara : Hutan wisata Wanayasa, taman satwa Serulingmas / Selomanik atau menyaksikan fenomena hujan salju (mbun upas) saat puncak musim kemarau (Juli-Agustus), Kebumen : Benteng Van der Wijck, goa Jatijajar dan gua Petruk pantai Logending Ayah, Karangbolong, Petanahan, Mirit, Ambal, Buluspesantren dan Puring, waduk Sempor, waduk Wadaslintang dan pemandian air panas Krakal. Purbalingga : Gua Lawa, Owabong, Monumen Jend. Soedirman, Purbasari Pancuran Mas. Cilacap : Segara Anakan, Pantai Widarapayung,hutan wisata Srandil, benteng Pendem serta Pulau Nusakambangan. Banyumas : Baturaden, Curug Cipendok, Masjid saka tunggal, pancuran pitu, mata air panas Kalibacin.

                                       BAB III
SENI DAN BUDAYA

A. BUDAYA BANYUMAS
Pembangunan pariwisata merupakan pembangunan yang sangat terkait dan tidak dapat terpisahkan dengan sektor-sektor lainnya, demikian pula sangat erat kaitannya dengan pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah. Pembangunan pariwisata juga memiliki multiplier effect, karena akan mempengaruhi aktivitas masyarakat maupun dunia usaha dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan budayanya. Oleh karenanya perlu didukung dan dilaksanakan secara terarah dan terpadu agar dicapai hasil yang optimal, dengan memperbesar dampak positif dan memperkecil dampak negatifnya. Wisata andalan di Kabupaten Banyumas terdiri dari wisata alam dan wisata budaya. Sesuai potensi yang dimilikii, wisata alam adalah pegunungan, hutan, air terjun, goa dan keindahan alam lainnya. Obyek dan daya tarik wisata yang utama adalah keindahan alam Baturraden, banyak diminati wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Tidak kalah menariknya adalah wisata budaya dan peninggalan sejarah antara lain Museum Sendang Mas, Museum Bank Rakyat Indonesia, Masjid Saka Tunggal, dan lainnya. Demikian pula adat istiadat dan kebiasaan masyarakat pada hari-hari tertentu, seperti Penjamasan Jimat, Penjaroan (memagari makam lingkungan Masjid Saka Tunggal), Kirab Pusaka Banyumas, upacara adat pengantin dan khitanan.
Kesenian daerah yang sangat menyatu dengan alam, contohnya adalah Tari Lengger, Musik Calung, Ebeg (Kuda Lumping) dan lainnya. Peralatan pendukungnya adalah bambu yang merupakan potensi alam Banyumas. Demikian pula makanan khas antara lain gethuk goreng, nopia, cimplung, tempe kripik, mendoan, klanting.
Sebagai salah satu upaya untuk memperkenalkan wisata dan budaya Banyumas, kami mencoba menghadirkan segenap potensi wisata dan budaya Banyumas secara online yakni dengan mengembangkan situs resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas dengan harapan dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya yang sangat ingin mengenal potensi Banyumas dan ingin meluangkan waktu untuk berkunjung dan menikmati Obyek dan Daya Tarik Wisata dan Budaya di Kabupaten Banyumas.       


B. SENI TRADISIONAL BANYUMASAN     
Seni dan Budaya khas Banyumasan tumbuh dan berkembang seusia dengan peradaban Jawa Kuna. Budaya Banyumasan juga diperkaya dengan masuknya gaya budaya Mataram (Yogya-Solo) dan Sunda (Pasundan/Priangan). Dari budaya Banyumasan ini lahir bentuk-bentuk kesenian tradisional yang juga berkarakter Banyumasan seperti ebeg, lengger-calung, angguk, wayang kulit gagrak Banyumasan, gendhing Banyumasan, begalan dan lain-lain. Sedangkan di wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah Jawa Barat lebih memiliki gaya budaya Pasundan seperti kesenian sisingaan, gendang rampak, rengkong, calung dan lain-lain.

1.      Ebeg
Ebeg' adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah Banyumasan. Varian lain dari jenis kesenian ini di daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada juga yang menamakannya jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur). Tarian ini menggunakan â€Å“ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi kerincingan. Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota dan sumping ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi dengan bunyi kerincingan. Jumlah penari ebeg 8 orang atau lebih, dua orang berperan sebagai penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan 16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan penthul-tembem memakai topeng. Tarian ebeg termasuk jenis tari massal, pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran yang cukup luas seperti lapangan atau pelataran/halaman rumah yang cukup luas. Waktu pertunjukan umumnya siang hari dengan durasi antara 1-4 jam. Peralatan untuk Gendhing pengiring yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Selain peralatan Gendhing dan tari, ada juga ubarampe (sesaji) yang mesti disediakan berupa : bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda (dewegan),jajanan pasar,dll. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung gadung,( cirebonan), dan lain-lain. Yang unik, disaat pagelaran, saat trans (kerasukan/mendem) para pemainnya biasa memakan pecahan kaca (beling) atau barang tajam lainnya, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya, dhedek (katul), bara api, dll. sehingga menunjukkan kekuatannya Satria, demikian pula pemain yang manaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet. Dalam pertunjukannya, ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe.

2.      Laisan
Laisan adalah jenis kesenian yang melekat pada kesenian ebeg. Laisan dilakukan oleh seorang pemain pria yang sedang mendem, badannya ditindih dengan lesung terus dimasukkan ke dalam kurungan, biasanya kurungan ayam, di dalam kurungan itulah Laisan berdandan seperti wanita. Setelah terlebih dulu dimantra-mantara, kurunganpun dibuka, dan munculah pria tersebut dengan mengenakan pakaian wanita lengkap. Laisan muncul di tengah pertunjukan ebeg. Pada pertunjukan ebeg komersial, salah seorang pemain biasanya melakukan thole-thole yaitu menari berkeliling arena sambil membawa tampah untuk mendapatkan sumbangan. Laisan juga dikenal di wilayah lain (wetan) dan mereka biasa menyebutnya Sintren.

3.      Lengger-Calung
Kesenian tradisional lengger-calung tumbuh dan berkembang diwilayah ini. Sesuai namanya, tarian lengger-calung terdiri dari lengger (penari) dan calung (gamelan bambu), gerakan tariannya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama calung. Diantara gerakan khas tarian lengger antara lain gerakan geyol, gedheg dan lempar sampur. Tari LenggerDulu penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan suasana, badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah penari lengger antara 2 sampai 4 orang, mereka harus berdandan sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga terlihat sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai sinden. Satu grup calung minimal memerlukan 7 orang anggota terdiri dari penabuh gamelan dan penari/lengger.

4.      Angguk
Tarian jenis ini sudah ada sejak abad ke 17 dibawa para mubalig penyebar agama Islam yang datang dari wilayah Mataram-Bagelen. Tarian ini disebut angguk karena penarinya sering memainkan gerakan mengangguk-anggukan kepala. Kesenian angguk yang bercorak Islam ini mulanya berfungsi sebagai salah satu alat untuk menyiarkan agama Islam. Sayangnya jenis kesenian ini sekarang semakin jarang dipentaskan. Angguk dimainkan sedikitnya oleh 10 orang penari anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun. Pakaian para penari umumnya berwarna hitam lengan panjang dengan garis-garis merah dan kuning di bagian dada/punggung sebagai hiasan. Celana panjang sampai lutut dengan hiasan garis merah pula, mengenakan kaos kaki panjang sebatas lutut tanpa sepatu, serta memakai topi pet berwarna hitam. Perangkat musiknya terdiri dari kendang, bedug, tambur, kencreng, 2 rebana, terbang (rebana besar) dan angklung. Syair lagu-lagu tari angguk diambil dari kitab Barzanji sehingga syair-syair angguk pada awalnya memang menggunakan bahasa Arab tetapi akhir-akhir ini gerak tari dan syairnya mulai dimodifikasi dengan menyisipkan gerak tari serta bahasa khas Banyumasan tanpa merobah corak aslinya. Bentuk lain dari kesenian angguk adalah ‘aplang’, bedanya bila angguk dimainkan oleh remaja pria maka ‘aplang’ atau ‘daeng’ dimainkan oleh remaja putri.

5.      Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umunya, masyarakat Banyumasan juga gemar menonton pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit di wilayah Banyumas lebih cenderung mengikuti pedalangan ‘gagrag’ atau gaya pedalangan khas Banyumasan. Seni pedalangan gagrag Banyumasan sebenarnya mirip gaya Yogya-Solo bercampur Kedu baik dalam hal cerita, suluk maupun sabetannya, bahasa yang dipergunakanpun tetap mengikuti bahasa pedalangan layaknya, hanya bahasa para punakawan diucapkan dengan bahasa Banyumasan. Nama-nama tokoh wayang umumnya sama, hanya beberapa nama tokoh yang berbeda seperti Bagong (Solo) menjadi Bawor atau Carub. Menurut model Yogya-Solo, Bagong merupakan putra bungsu Ki Semar, dalam versi Banyumas menjadi anak tertua. Tokoh Bawor adalah maskotnya masyarakat Banyumas. Ciri utama dari wayang kulit gagrag Banyumasan adalah nafas kerakyatannya yang begitu kental dan Ki Dalang memang berupaya menampilkan realitas dinamika kehidupan yang ada di masyarakat. Tokoh pedalangan untuk Wayang Kulit Gagrag Banyumasan yang terkenal saat ini antara lain Ki Sugito Purbacarito, Ki Sugino Siswacarito, Ki Suwarjono dan lain-lain.
6.      Gending Banyumasan
Gending khas lagu-lagu Banyumasan sangat mewarnai berbagai kesenian tradisional Banyumasan, bahkan dapat dikatakan menjadi ciri khasnya, apalagi dengan berbagai hasil kreasi barunya yang mampu menampilkan irama Banyumasan serta dialek Banyumasan. Ciri-ciri khas lainnya antara lain mengandung parikan yaitu semacam pantun berisi sindiran jenaka, iramanya yang lebih dinamis dibanding irama Yogya-Solo bahkan lebih mendekati irama Sunda. Isi-isi syairnya umumnya mengandung nasihat, humor, menggambarkan keadaan daerah Banyumas serta berisi kritik-kritik sosial kemasyarakatan. Lagu-lagu gending Banyumasan dapat dimainkan dengan gamelan biasa maupun gamelan calung bambu. Seperti irama gending Jawa pada umumnya, irama gending Banyumasan mengenal juga laras slendro dan pelog.

7.      Begalan
Begalan adalah jenis kesenian yang biasanya dipentaskan dalam rangkaian upacara perkawinan yaitu saat calon pengantin pria beserta rombongannya memasuki pelataran rumah pengantin wanita. Disebut begalan karena atraksi ini mirip perampokan yang dalam bahasa Jawa disebut begal. Yang menarik adalah dialog-dialog antara yang dibegal dengan sipembegal biasanya berisi kritikan dan petuah bagi calon pengantin dan disampaikan dengan gaya yang jenaka penuh humor. Upacara ini diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung. Begalan merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau seni lawak dengan iringan gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya tak begitu terikat pada patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras dengan irama gending. Jumlah penari 2 orang, seorang bertindak sebagai pembawa barang-barang (peralatan dapur), seorang lagi bertindak sebagai pembegal/perampok. Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, ian, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan wangkring.
Barang bawaan ini biasa disebut brenong kepang. Pembegal biasanya membawa pedang kayu. Kostum pemain cukup sederhana, umumnya mereka mengenakan busana Jawa. Dialog yang disampaikan kedua pemain berupa bahasa lambang yang diterjemahkan dari nama-nama jenis barang yang dibawa, contohnya ilir yaitu kipas anyaman bambu diartikan sebagai peringatan bagi suami-isteri untuk membedakan baik buruk. Centhing, tempat nasi artinya bahwa hidup itu memerlukan wadah yang memiliki tatanan tertentu jadi tidak boleh berbuat semau-maunya sendiri. Kukusan adalah alat memasak atau menanak nasi, ini melambangkan bahwa setelah berumah tangga cara berpikirnya harus masak/matang. Selain menikmati kebolehan atraksi tari begalan dan irama gending, penonton juga disuguhi dialog-dialog menarik yang penuh humor. Biasanya usai pertunjukan, barang-barang yang dipikul diperebutkan para penonton. Sayangnya pertunjukan begalan ini tidak boleh dipentaskan terlalu lama karena masih termasuk dalam rangkaian panjang upacara pengantin.


8.      Rengkong
Rengkong adalah kesenian yang menyajikan bunyi-bunyian khas bagai suara kodok mengorek secara serempak yang dihasilkan dari permainan pikulan bambu. Pikulan bambu tersebut berukuran besar dan kuat tetapi ringan karena dibuat dari bambu yang sudah cukup tua, biasanya menggunakan bambu tali dengan panjang sekitar 2,6 meter. Pada kedua ujung bambu dibuat lobang persegi panjang selebar 1 cm, sekeliling bambu melintasi lobang tersebut diraut sekedar tempat bertengger tali penggantung ikatan padi. Dua ikat padi seberat ± 15 kg digayutkan dengan tali ijuk mengalungi sonari (badan rengkong bambu di tempat yang diraut). Di tengah masing-masing ikatan padi ada sunduk (tusuk) bambu sepanjang hampir 2 meter. Ujung atas sunduk bambu dimasukkan ke badan bambu rengkong dekat gantungan tali ijuk. Cara memainkannya, pikulan bambu rengkong yang berisi muatan padi diletakkan pada bahu kanan (dipikul).
Pemikul mengayun-ayunkan ke kiri dan ke kanan dengan mantap dan teratur. Tali ijuk dengan beban padi yang menggantung pada badan bambu rengkong pun bergerak-gerak, gesekan tali ijuk yang keras inilah yang menimbulkan suara berderit-derit nyaring. Kalau ada beberapa rengkong yang dimainkan serempak maka akan timbul suara yang mengasyikan, khas alam petani, terlebih bila dimainkan dengan berbaris berarak-arakan maka suasananya akan lebih semarak. Kesenian tradisional para petani ini biasanya diadakan pada pesta perayaan panen atau pada hari-hari besar nasional.

C. KESENIAN LAINNYA DI WILAYAH BANYUMASA
Kesenian - kesenian lainnya (termasuk kesenian serapan) yang tumbuh berkembang di wilayah Banyumasan antara lain adalah:
v  Bongkel
Bongkel adalah musik tradisional Banyumasan yang mirip dengan angklung, hanya terdiri dari satu jenis instrumen dengan empat bilah berlaras slendro. Nada-nadanya 2 (ro), 3 (lu), 5 (mo), 6 (nem).
v  Buncis
Buncis adalah perpaduan antara seni musik dengan seni tari yang dimainkan oleh 8 orang pemain. Dalam pertunjukannya diiringi dengan perangkat musik angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik serta vokalis.
v  Aksimuda
Aksimuda adalah kesenian bernafas Islam yang disajikan dalam bentuk atraksi pencak silat yang digabung dengan tari-tarian.
v  Salwatan Jawa
Salawatan Jawa adalah salah satu seni musik bernafaskan Islam dengan perangkat musik berupa trebang jawa. Dalam pertunjukannya kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanzi.
v  Cowongan/ Nini Cowong
Cowongan adalah upacara ‘meminta hujan’. Upacara ini dilakukan bila hujan tidak turun dalam waktu yang sudah cukup lama. Wujud Nini Cowong seperti jaelangkung.
v  Ujungan
Ujungan adalah jenis kesenian yang agak mengerikan karena pemainnya saling sabet-sabetan dengan menggunakan penjalin.

D. WAYANG KULIT GAGRAG BANYUMASAN
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan merupakan salah satu gaya pedalangan di tanah Jawa, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran, dan berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para pakar yang memahami benar. Pakeliran ini mencakup unsur-unsur yaitu, lakon wayang ( penyajian alur cerita dan maknanya), sabet (seluruh gerak wayang), catur (narasi dan cakapan), karawitan (gendhing, sulukan dan properti panggung).
Pakeliran Gagrag Banyumasan, mempunyai nuansa kerakyatan yang kental sebagaimana karakter masyarakatnya , jujur dan terus terang , dan hidup serta berkembang di daerah eks Karesidenan Banyumas, merupakan ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas dan mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan jaman, karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakatnya. Hal ini berbeda dengan pakeliran gaya kerakyatan daerah lain, yang cenderung punah terutama didaerah yang dekat dengan pusat kekuasaan Keraton, misalkan saja Wonogiri, Sragen dan Karanganyar, dimana pengaruh pedalangan Keraton seperti Kesultanan Yogyakarta dengan pendirian seni pedalangan Hambiwarakake Rancangan Andhalang (Habirandha (1925), Kasunanan Surakarta dengan Pasinaoun Dhalang Surakarta (Padhasuka (1923)) dan awal tahun 1920 Mangkunegaran mendirikan Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PMDN), cenderung menekan pakeliran gaya kerakyatan sekitarnya, dan mejadikan pelestariannya merupakan tantangan tersendiri.
Pedalangan Gagrag Banyumasan, memperoleh pengaruh serta memiliki tatanan atau pakem dari seni pedalangan Surakarta dan Yogyakarta, akan tetapi mempunyai ciri khas tersendiri dengan penokohan Bawor dengan lagu Kembang Lepang serta Gendhing Banyumasan. Seni pedhalangan Gagrag Banyumasan ini kemudian dibakukan dan dilestarikan oleh para pakar pedhalangan Banyumas dalam paguyuban ganasidi/ pedalangan eks karesidenan Banyumas, yang diselenggarakan di Kawedanan Bukateja tanggal 21 April 1979.
a.      Perkembangan Pedalangan Gagrak Banyumasan
Seperti juga seni pedalangan Indonesia yang lain, berkembang semenjak pengaruh Hindu, dengan berdirinya Mataram Hindu dengan serat Ramayana, era 898 M dalam bahasa Sansekerta dengan pengaruh India yang kuat, kemudian berkembang sejalan dengan penggunaan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi. Seni pedhalangan memasuki jaman keemasan pada era Kediri (1042-1222) dalam pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1157), berkembangnya penulisan dan karya sastra seperti serat Bharatayuda, serat Hariwangsa, serat Gathutkacasraya oleh Mpu Panuluh dan Wayang Purwa yang merupakan cikal bakal dan perkembangan seni pedalangan di Nusantara.Pengaruh kuat lainnya pada pedalangan Banyumasan, yaitu pada jaman kesultanan Demak (1478-1546), kemudian Kesultanan Pajang (1546-1587), sampai dengan pengaruh Mataram pada jaman Plered (1645-1677) era Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai perhatian besar untuk karesidenan Banyumas , dan mengutus dalang Ki Lebdajiwa ke Ajibarang, untuk lebih mengembangkan seni pedalangan Gagrag Banyumasan. Pengaruh Gagrag Mataram (Surakarta dan Yogjakarta) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul, dan dikenal dengan seni pedalangan Banyumas pesisiran atau Gagrag Kidul Gunung, pengaruhnya dapat diketahui sampai dengan kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dalang trah Gombong, yaitu Ki Cerma sampai dengan Ki Dhalang Menganti.
Sedangkan kawasan depan Banyumas (dari Purbalingga kemudian menyusuri Sungai Serayu, menuju kearah Barat), mempunyai pakeliran tersendiri dan dikenal dengan Gagrag Lor Gunung, seperti berkembang melalui dalang trah Kesugihan (aslinya dari pengembangan pesisiran) diantaranya Ki Dalang Tutur, dan terus berkembang sampai dengan era Ki Dalang Parsa, Ki Dalang Sugih. Akan tetapi yang cenderung tidak terpengaruh dhalang pesisiran adalah Ki Dalang Waryan dari Kalimanah. Sehingga sampai sekarang tetap dikenal dan lestari seni tradisionil yaitu, Pedalangan Gagrag Banyumasan Kidul Gunung dan Pedalangan Gagrag Banyumasan Lor Gunung ( Redi Kendeng).

b.      Lakon
Dalam Wayang Gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas dalam penceritaan yang lebih memperjelas peran rakyat kecil yang dimanivestasikan dalam tokoh punakawan seperti cerita Bawor Dadi Ratu, Petruk Krama dan lain-lain selain itu pula wayang Gagrag Banyumasan lebih menonjolkan peran para muda dalam penyelesaian kasus-kasus dan permasalahan. Cerita Srikandi Mbarang Lengger' yang merupakan terusan lakon Srenggini Takon Rama adalah salah satu contoh kongkrit bahwa peran pemuda seperti Antasena dan Wisanggeni menjadi sangat sentral.












BAB IV
DIALEK BANYUMAS
           
  1. Bahasa Banyumasan
Banyumasan atau mBanyumasan adalah: Kesatuan budaya, bahasa dan karakter yang hidup dan berkembang di masyarakat wilayah Banyumasan. Wilayah Banyumasan adalah sebuah wilayah yang terletak di bagian barat propinsi Jawa Tengah, Indonesia atau wilayah yang mengitari Gunung Slamet dan Sungai Serayu. Banyumasan sebagai kesatuan budaya adalah: akal budi, pikiran serta hasil kreativitas masyarakat Banyumasan yang tumbuh sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas yang memiliki karakter dan pola-pola tertentu.
Banyumasan sebagai kesatuan bahasa adalah: tuturan/ucapan dengan sistematika tertentu yang digunakan masyarakat Banyumasan untuk mewakili wujud suatu benda, tindakan, gagasan serta keadaan. Secara umum ini sebut sebagai bahasa Banyumasan yang menjadi salah satu identitas masyarakat Banyumasan.Banyumasan sebagai kesatuan karakter adalah : sikap mental dan nilai-nilai moral yang secara genetis hidup di masyarakat Banyumasan. Karakter Banyumasan sekaligus menjadi identitas masyarakat Banyumasan. Wilayah Banyumasan secara umum terdiri dari 2 bagian yaitu: Wilayah utara yang terdiri dari: Brebes, Tegal dan Pemalang, sertaWilayah selatan yang mencakup Cilacap, Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas.
Hal ini merupakan implikasi dari regionalisasi yang dilakukan pada jaman dahulu. Walaupun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat istiadat dan logat bahasa tetapi secara umum dapat dikatakan satu warna, sama-sama menggunakan logat bahasa Jawa ngapak-ngapak dan sama-sama berbudaya penginyongan.
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak. Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan Dituturkan di: Wilayah Banyumasan (Jawa, Indonesia) Wilayah: BanyumasanJumlah penutur:12 - 15 juta. Klasifikasi rumpun bahasa: Austronesia, Melayu-Polinesia, Melayu-Polinesia Barat, Sundik, Bahasa Jawa, Bahasa Banyumasan.
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan. Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur. Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/ Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis. Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

  1.  Sejarah Dialek Banyumasan
Peta lokasi penutur Dialek Banyumasan.Menurut para pakar bahasa, sebagai bagian dari bahasa Jawa maka dari waktu ke waktu, bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
1. Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
2. Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
3. Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
4. Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.
(Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal) Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan.
Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur).Menurut M. Koderi (salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan), kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan. Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta / Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan.

  1. Rumpun Bahasa Jawa Bagian Barat
Peta lokasi berdasarkan wilayah di Jawa.Terdapat 4 sub-dialek utama dalam Bahasa Banyumasan, yaitu Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Cirebonan) dan Banten Utara.Wilayah Utara Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal. Wilayah Selatan Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Kebumen serta Gombong. Cirebon – Indramayu Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara administratif, wilayah ini termasuk dalam propinsi Jawa Barat. Banten Utara Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara yang secara administratif termasuk dalam propinsi Banten. Selain itu terdapat beberapa sub-sub dialek dalam bahasa Banyumasan, antara lain sub dialek Bumiayu dan lain-lain.


a)      Kosa Kata
Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik. Banten Utara Cirebonan Banyumasan & Tegalan Jawa Standar Indonesia siresira/ rikasira/ rikakowe kamu pisan pisan pisan banget sangat keprimen kepriben keprimen/ kepriben/ kepriwepiye/ kepriye/ kepripun bagaimana

b)     Kosakata Lainnya
  Inyong ==> aku (bandingkan dengan bahasa Jawa Kuna ingwang dan Jawa   Pertengahan ingong)   Gandhul ==> pepaya   Rika ==> kamu
                                         
  1. Tendensi Kepunahan
Bagi penutur sehari-hari bahasa Banyumasan, sub judul di atas terkesan berlebihan, tetapi bagi para pakar Banyumasan kakhawatiran tersebut sangat beralasan. Budayawan M. Koderi, Fadjar P. dan Ahmad Tohari bersedia sibuk-sibuk menyusun Kamus Banyumasan adalah bukti kekhawatiran tersebut selain karena kecintaan mereka kepada budaya Banyumasan. Untuk sub dialek Cirebonan, budayawan TD Sudjana harus bersitegang mempertahankan agar mata pelajaran bahasa daerah Cirebonan tidak dihapus dari muatan lokal kurikulum pendidikan Nasional.Baca kegundahan Ahmad Tohari berikut ini: dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan sesungguhnya wong penginyongan boleh dikata akan terhapus dari peta etnik bangsa ini. Kekhawatiran belau lainnya: mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat wong penginyongan harus segera disediakan.  
Sebuah fakta empiris bahwa penutur asli bahasa Banyumasan (Satria) akan mengalah bila berbicara dengan penutur bahasa wetanan (Satrio). Alasannya, Satria tidak ingin dicap sebagai orang rendahan karena menggunakan bahasa berlogat kasar.salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan dialek Banyumasan adalah dengan menggunakan bahasa tersebut di dalam pergaulan baik waktu orang banyumas berada di daerahnya maupun berada di luar daerah. Selain itu salah satu usaha yang lain adalah dengan dimasukkannya bahasa Banyumasan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal.

BAB V
PENUTUP

A Kesimpulan
Setelah mengkaji dari sekian refrensi yang ada maka dapat disimpulkanDi era globalisasi yang semakin menguatkan integritasnya, secara kualitatif telah menggeser beberapa bentuk hubungan dan tata ekonomi-sosial-politik-budaya dalam sebuah dunia yang tunggal. Didalalamnya terdapat kekuatan dominan yang hegemonic. Sehingga apa yang disebut budaya lokal, sekarang, telah menjadi semacam artefak sejarah yang tidak layak menjadi tata aturan, norma dan pergaulan dalam masyarakat yang dibangun atas dasar fondasi globalisasi,  
B. Saran dan Harapan
Dengan kemampuan yang ter batas maka penulis makalah ini sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang membaca makalah ini, agar menjadi kesempurnaan diesok hari. Serta semoga para pembaca makalah ini benar – benar menjadi seorang Mu’min yang mampu membawa perubahan bagi kehidupan yang diharapkan
Kebudayaan, merupakan warisan sejarah dan identitas diri kita yang sesungguhnya. Dan dari makalah sederhana ini, besar harapan penulis agar para mahasiswa tidak buta akan sejarah  kebudayaan daerah sendiri atau sejarah kebudayaan Indonesia itu tersendiri.
C. Penutup
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat bagi semua kalangan termasuk diri saya,  Amin……Dengan penuh kekurangan dan kesalahan serta keterbatasan akal dan pikiran, penulis merasa bahwa makalah ini belum  mencapai pada taraf kesempurnan karna masih banyaknya kekurangan disana-sini.
Walau demikian dengan penuh rasa syukur yang sebesar-besarnya terhadap illahi rabbi yang telah memberikan taufiq, hidayah, serta  inayahnya, sehingga saya dapat menyelsaikan tugas makalah ini untuk memenuhi tuntutan sebagai seorang mahasiswa.